Surabaya,Jurnal Hukum Indonesia.–
Raja Ampat dikenal sebagai salah satu kawasan dengan keanekaragaman hayati laut terkaya di dunia. Terletak di Provinsi Papua Barat Daya, wilayah ini bukan hanya memiliki nilai ekologis yang tinggi, tetapi juga merupakan bagian dari Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN) yang dilindungi oleh berbagai regulasi nasional dan internasional. Keindahan alam dan kekayaan ekosistem Raja Ampat telah menjadikannya destinasi wisata kelas dunia dan simbol penting bagi pelestarian lingkungan di Indonesia.
Namun demikian, dalam beberapa tahun terakhir, muncul isu kontroversial terkait dengan pemberian izin usaha pertambangan (IUP) di kawasan ini. Kegiatan pertambangan yang dilakukan di wilayah yang seharusnya dilindungi menimbulkan kekhawatiran serius akan kerusakan lingkungan, degradasi keanekaragaman hayati, serta konflik sosial dengan masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya pada kelestarian alam. Permasalahan ini memunculkan pertanyaan mengenai legalitas pemberian izin pertambangan di kawasan konservasi, serta efektivitas regulasi yang seharusnya melindungi wilayah seperti Raja Ampat. Selain itu, penting untuk ditelaah bagaimana dampak pertambangan tersebut, baik dari aspek lingkungan, sosial, maupun ekonomi. Melalui kajian ini, diharapkan dapat ditemukan titik temu antara kepentingan pembangunan dan prinsip keberlanjutan lingkungan hidup di wilayah konservasi.
Pelanggaran yg terjadi saat ini :
1. Pelanggaran terhadap Kawasan Konservasi
Pertambangan di wilayah Raja Ampat berpotensi
melanggar ketentuan hukum terkait perlindungan
kawasan konservasi. Aktivitas eksplorasi dan eksploitasi
sumber daya alam bertentangan dengan fungsi utama
kawasan tersebut, yaitu pelestarian ekosistem
dan keanekaragaman hayati.
2. Kerusakan Lingkungan
Pertambangan dapat menyebabkan:
a. Deforestasi dan degradasi lahan.
b. Pencemaran air laut dan sungai akibat limbah tambang.
c. Gangguan terhadap habitat spesies langka dan
endemik.
d. Kerusakan ini mengancam ekosistem laut dan darat
yang sangat sensitif.
3. Ancaman terhadap Kehidupan Masyarakat Adat dan Lokal
Masyarakat Raja Ampat, terutama yang menggantungkan
hidup pada laut dan hutan, terancam kehilangan sumber
mata pencaharian, sehingga tambang dapat menciptakan
konflik sosial, mengabaikan hak ulayat, serta
memarginalkan komunitas adat.
4. Lemahnya Penegakan Hukum dan Tata Kelola
Pemberian izin tambang di kawasan konservasi
menunjukkan lemahnya pengawasan Pemerintah,
tumpang tindih regulasi, dan potensi praktik
korupsi atau penyalahgunaan wewenang dalam
pengeluaran izin.
5. Ancaman terhadap Potensi Ekowisata
Raja Ampat merupakan salah satu destinasi wisata bahari
paling terkenal di dunia. Pertambangan dapat merusak
citra dan daya tarik wisata, serta menghilangkan potensi
pendapatan ekonomi berkelanjutan dari sektor pariwisata.
Solusi :
1. Peninjauan dan Pencabutan Izin Tambang
Pemerintah pusat dan daerah perlu melakukan audit
menyeluruh terhadap izin usaha pertambangan (IUP) yang
telah dikeluarkan, dan mencabut atau membatalkan izin
tambang yang terbukti melanggar peraturan tentang
kawasan konservasi dan lingkungan hidup, sesuai UU
No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
2. Penegakan Hukum yang Tegas
Menindak pelanggaran lingkungan dan korupsi dalam
proses perizinan dan memberikan sanksi administratif,
perdata, hingga pidana kepada pihak yang merusak
lingkungan atau melanggar hukum.
3. Penguatan Peran Masyarakat Adat
Mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat,
termasuk hak ulayat atas tanah maupun hak ulayat atas
laut, serta melibatkan mereka dalam pengambilan
keputusan dan pengawasan aktivitas ekonomi
di wilayah Raja Ampat.
4. Pengembangan Ekonomi Alternatif Berkelanjutan
Mendorong sektor ekowisata, perikanan berkelanjutan,
dan usaha mikro berbasis konservasi sebagai alternatif
sumber ekonomi masyarakat, serta memberikan pelatihan
dan akses pembiayaan untuk mendukung usaha
ekonomi lokal yang ramah lingkungan.
5. Revitalisasi Kawasan Konservasi
Melakukan rehabilitasi lingkungan di lokasi yang sudah
terlanjur rusak, dan memperkuat tata kelola kawasan
konservasi dengan sistem zonasi
yang jelas dan pengawasan terpadu.
6. Sinkronisasi Regulasi dan Tata Kelola Pemerintahan
Mengharmonisasi antara kebijakan sektor pertambangan,
lingkungan hidup, dan kelautan, serta meningkatkan
koordinasi antar lembaga (KLHK, ESDM, Pemda, dan
lembaga adat).
(Bambang S. Irianto)