Oleh: Mohamad Djasuli
(Sang Pengabdi di FEB UTM, Dosen & Praktisi Akuntansi Sektor Publik)
Bangkalan, Jurnal Hukum Indonesia.–
Dalam dua dekade terakhir, Mekkah dan Madinah mengalami transformasi dari kota religius tradisional menjadi pusat ekonomi keumatan global. Ratusan hotel bertingkat muncul mengelilingi Masjidil Haram dan Nabawi, disusul menjamurnya toko, kios, dan pusat perbelanjaan di lantai dasar hotel. Fenomena ini melahirkan hotel–retail nexus, yaitu keterkaitan erat antara sektor akomodasi dan aktivitas ekonomi jamaah.
Jamaah haji dan umrah menjadi penggerak utama ekonomi (economic driver). Belanja oleh-oleh, makanan, perlengkapan ibadah, hingga layanan wisata religius menyumbang miliaran riyal setiap tahun. Namun di balik geliat ekonomi tersebut, masih banyak pelaku retail yang beroperasi tanpa pencatatan keuangan formal, menciptakan kesenjangan antara hotel internasional dan pedagang kecil.
Bagi dunia akuntansi, ini bukan sekadar fenomena ekonomi, melainkan ruang perenungan moral dan profesional: bagaimana mengubah ekonomi religius menjadi sistem yang berkah, akuntabel, dan dikelola dengan baik?
Ekonomi Jamaah: Spiritualitas yang Menggerakkan Pasar
Ekonomi jamaah merupakan perpaduan unik antara ibadah dan konsumsi. Konsumsi jamaah bukan hanya pemenuhan kebutuhan, melainkan cara menunjukkan rasa syukur, berbagi, dan kesalehan sosial.
Menurut Kementerian Haji dan Umrah Saudi (2024), lebih dari 40% pendapatan nonmigas sektor jasa di Mekkah–Madinah bersumber dari aktivitas jamaah. Namun mayoritas transaksi berlangsung secara tunai, tanpa bukti, dan tanpa pelaporan.
Inilah yang disebut sebagai shadow economy of pilgrims — ekonomi religius yang besar, tetapi tidak seluruhnya tercatat dalam sistem akuntansi formal.
Prinsip Akuntabilitas dalam Perspektif Islam
Dalam Islam, akuntansi tidak hanya bicara tentang laba, tetapi juga hisab (pertanggungjawaban). Rasulullah ﷺ bersabda:
“Pedagang yang jujur dan amanah akan bersama para nabi, orang-orang yang benar, dan para syuhada.”
(HR. Tirmidzi No. 1209)
Prinsip amanah dan ‘adl (keadilan) menjadi fondasi akuntansi syariah. Pelaporan keuangan harus:
Bebas manipulasi,
Transparan (kasyf),
Mencerminkan kebenaran dan halal.
Problem Formalisasi dan Transparansi
Sistem ekonomi jamaah menghadapi tiga tantangan besar:
1️⃣ Tingkat Informalitas Tinggi
Banyak toko bawah hotel tidak memiliki izin usaha.
2️⃣ Pencatatan Non-Standar
Pembukuan manual, tanpa standar akuntansi, rentan manipulasi.
3️⃣ Minim Integrasi Data
Tidak ada keterhubungan antara hotel, retail, dan regulator pemerintah.
Akibatnya, muncul risiko moral hazard, kebocoran pendapatan, dan ketimpangan antara pelaku besar dan kecil. Padahal dalam akuntansi publik, traceability (keterlacakan) adalah syarat utama tata kelola yang sehat.
Menuju Digitalisasi: Smart Accounting System for Pilgrims Economy (SASPE)
Solusi strategis yang ditawarkan adalah penerapan model SASPE (Smart Accounting System for Pilgrims Economy) — sistem pencatatan digital berbasis syariah dan teknologi.
Fitur Utama SASPE:
Fitur Fungsi
Digital Traceability Mencatat semua transaksi secara otomatis
QR Receipt Bukti transaksi jamaah terhubung ke laporan hotel
Blockchain Ledger Keamanan dan anti-manipulasi
AI-based Audit Deteksi anomali harga & omzet
Zakat & Tax Integration Hitung kewajiban syariah dan fiskal
Dengan SASPE, transparansi ekonomi menjadi ibadah, bukan sekadar kewajiban administratif.
Peran Akademisi dan Regulator
Dosen dan praktisi akuntansi memiliki amanah besar untuk menjembatani teori dan praktik melalui:
Riset terapan: audit sosial dan spiritual terhadap ekonomi jamaah,
Standarisasi pelaporan: khusus untuk UMKM haji dan umrah,
Kolaborasi internasional: dengan Kementerian Haji & SOCPA,
Edukasi literasi keuangan bagi pedagang kecil di Kota Suci.
Akuntansi menjadi sarana dakwah, menanamkan budaya jujur dan amanah dalam aktivitas ekonomi.
Akuntansi Berkah: Dari Laporan Dunia menuju Catatan Akhirat
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tidak akan bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang hartanya: dari mana diperoleh dan ke mana dibelanjakan.”
(HR. Tirmidzi No. 2417)
Dengan demikian, akuntabilitas ekonomi di Kota Suci bukan hanya soal neraca dan laba, tetapi soal keberkahan dan pertanggungjawaban akhirat.
Kesimpulan
Fenomena hotel–retail nexus di Mekkah dan Madinah menunjukkan potensi ekonomi keagamaan yang luar biasa. Namun tanpa sistem akuntansi yang kuat, potensi itu dapat berubah menjadi kerentanan.
Transformasi menuju ekonomi jamaah yang akuntabel dan berkah membutuhkan sinergi:
Teknologi
Nilai Syariah
Tata Kelola Modern
Akademisi, regulator, dan pelaku usaha harus berjalan bersama, menjadikan Kota Suci sebagai model global ekonomi keagamaan yang adil, transparan, dan menenteramkan.
Daftar Pustaka:
Al-Kasim, F., & Al-Harbi, S. (2023). Accounting Practices and Informality in Pilgrims’ Economy. Journal of Islamic Accounting Research, 15(2), 114–132.
Al-Shammari, B. (2022). Financial Transparency and Religious Tourism in Saudi Arabia. Middle East Economic Studies, 10(3), 45–67.
Haniffa, R. (2021). Islamic Accounting: Between Accountability and Spirituality. London: Routledge.
Kementerian Haji dan Umrah Saudi. (2024). Annual Report on Hajj and Umrah Sector Statistics. Riyadh.
Ministry of Economy and Planning (2024). Saudi Vision 2030 Progress Report. Riyadh.
Mulawarman, A. D. (2019). Akuntansi Syariah: Ruh, Filsafat, dan Implementasi. Jakarta: Rajawali Pers.
Napier, C. (2020). Islamic Accounting History and the Role of Faith in Financial Systems. Accounting History Review, 30(1), 1–21.
Rahman, A. R. A. (2022). Accountability and Governance in Islamic Contexts. Kuala Lumpur: IIUM Press.
Suryanto, T., & Arifin, M. (2023). Akuntabilitas Sosial dan Akuntansi Spiritual dalam Ekonomi Syariah. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Islam, 14(1), 55–78.
Tirmidzi, Imam. Sunan at-Tirmidzi, No. 1209 dan 2417.



















