Jakarta,Jurnal Hukum Indonesia.–
Dimulai pada tahun 80-an.
Seorang gadis belia yang tengah beranjak remaja harus menghadapi ujian hidup berat—ditinggal wafat oleh ayahandanya tercinta. Dalam kubangan kesedihan dan rasa kehilangan yang teramat dalam, ia mencari arah baru untuk menyelamatkan hatinya. Dengan penuh harap, ia memohon izin kepada ibundanya untuk melanjutkan pendidikan di pondok pesantren. Keputusan yang hingga kini disyukuri sebagai takdir terbaik dalam perjalanan hidupnya.
Ia menyadari, bila larut dalam duka yang berkepanjangan, dirinya bisa tenggelam tanpa arah. Maka ia membulatkan tekad: meninggalkan segala kemudahan, melepaskan kebebasan masa remaja, dan memilih jalan khidmat sebagai seorang santri.
Masa awal di pesantren tidaklah mudah. Kehidupan yang ketat, peraturan disiplin yang kuat, dan jarak dari keluarga menjadi ujian yang menguras air mata dan mengguncang mental. Tak jarang kesehatan menurun, rasa rindu rumah (homesick) menghantam diri, hingga pernah merasa hampir menyerah. Namun, Alhamdulillah… semua dapat dilewati.
Di lingkungan baru dengan teman-teman dari berbagai daerah, beragam karakter, segudang kegiatan, serta aturan yang begitu mengikat, semua membutuhkan waktu untuk beradaptasi. Namun tekadnya tetap teguh:
Menuntut ilmu.
Mendekatkan diri kepada Sang Khaliq.
Menjadi pribadi yang kuat dan mandiri.
Berbhakti kepada para kiai dan bu nyai.
Saat menjalaninya, memang terasa berat. Namun hasil akhirnya sungguh luar biasa. Kini, penulis dapat berkata dengan yakin: dari gemblengan pesantrenlah lahir kekuatan diri yang ada hari ini.
Alhamdulillah… Terima kasih, ya Allah… telah Engkau beri kesempatan menjalani kehidupan sebagai santri.
Selamat Hari Santri 2025
Oktober 2025
IIS ALI
Jakarta
