Oleh: Alya Aulia Faiza
Bangkalan,Jurnal Hukum Indonesia.–
Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah membawa manusia memasuki fase baru dalam perjalanan peradabannya. Jika dahulu, mesin hanya berperan sebagai alat bantu untuk meringankan pekerjaan manusia. Kini, melalui algoritma yang semakin canggih, mesin mampu berpikir, belajar, dan membuat keputusan sendiri. Hal ini memunculkan pertanyaan mendasar: ketika mesin sudah dapat berpikir layaknya manusia, apakah keberadaan manusia masih dibutuhkan? Pertanyaan tersebut tidak hanya bersifat teknologis, tetapi juga menyentuh ranah filsafat dan etika, menyoal hakikat manusia, perannya dalam masyarakat, serta nilai moral di tengah derasnya arus kemajuan digital.
AI kini berkembang pesat di berbagai sektor kehidupan seperti industri, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan hiburan. Mesin telah mampu mengenali wajah, menerjemahkan bahasa, menulis teks, membuat gambar, hingga menganalisis data dengan tingkat ketepatan yang bahkan melebihi kemampuan manusia. Dalam bidang tertentu, seperti perbankan dan manufaktur, peran manusia mulai tergantikan oleh mesin. Inovasi ini memang membawa banyak manfaat meningkatkan efisiensi, mengurangi kesalahan, dan mempercepat proses kerja. Namun, di balik kemajuan tersebut, muncul kekhawatiran bahwa manusia akan kehilangan peran pentingnya di dunia kerja, bahkan dalam pengambilan keputusan strategis. Fenomena ini dikenal sebagai the replacement era, yaitu masa ketika mesin tidak lagi sekadar membantu, melainkan benar-benar menggantikan manusia.
Secara prinsip, relasi antara manusia dan mesin seharusnya tidak dipandang sebagai ajang persaingan, melainkan sebagai bentuk kerja sama. Mesin unggul dalam kecepatan, ketepatan logika, dan kemampuan menganalisis data, sedangkan manusia memiliki empati, intuisi, serta nilai-nilai moral yang tidak dapat ditiru oleh algoritma. Namun, apabila manusia terlalu bergantung pada teknologi tanpa dibarengi kemampuan berpikir kritis dan kesadaran etis, maka perannya akan semakin terpinggirkan. Karena itu, pendidikan karakter dan literasi digital menjadi sangat penting. Generasi masa kini perlu memahami bahwa teknologi hanyalah sarana, bukan pengganti akal dan nurani manusia. Mesin mungkin mampu berpikir secara rasional, tetapi tidak memiliki kesadaran moral. Mesin tidak mengenal kasih sayang, tanggung jawab, maupun nilai-nilai kemanusiaan.
Persoalan etika mulai muncul ketika mesin diberi kewenangan untuk mengambil keputusan yang menyangkut kehidupan manusia. Misalnya, dalam bidang Kesehatan, apakah mesin berhak menentukan siapa yang lebih layak mendapatkan perawatan? Atau dalam ranah hukum, apakah keputusan yang dihasilkan algoritma bisa dianggap adil tanpa mempertimbangkan nilai kemanusiaan? Etika menjadi landasan utama dalam pemanfaatan teknologi. Tanpa arah moral yang jelas, kecerdasan buatan dapat berubah menjadi pedang bermata dua: di satu sisi membawa manfaat besar bagi manusia, namun di sisi lain berpotensi mengancam keberadaannya. Karena itu, manusia tetap memegang peranan penting sebagai penuntun moral bagi perkembangan teknologi. Mesin memang mampu berpikir, tetapi manusialah yang harus memastikan bahwa setiap hasil pemikiran buatan tetap berorientasi pada nilai kemanusiaan. Dalam era digital, pendidikan tidak cukup hanya berfokus pada kecerdasan intelektual. Pembelajaran abad ke-21 hendaknya membentuk manusia yang tidak hanya cerdas secara pengetahuan, tetapi juga bijak dan bertanggung jawab dalam memanfaatkan teknologi.
Peran guru dan lembaga pendidikan menjadi sangat penting dalam membimbing peserta didik agar tidak hanya menjadi pengguna teknologi, melainkan juga pengendali yang sadar akan dampaknya. Nilai-nilai seperti tanggung jawab, empati, dan keadilan perlu ditanamkan seiring dengan penguasaan literasi digital. Dengan cara ini, manusia tidak akan tersisih oleh mesin, melainkan mampu menjadi mitra yang cerdas, beretika, dan berperan aktif dalam membangun masa depan yang beradab. Jika manusia hanya berperan sebagai pelaksana tugas teknis, maka mesin dapat mengambil alih fungsi tersebut. Namun, apabila manusia berperan sebagai makhluk yang berpikir, bermoral, dan berperasaan, maka keberadaannya tidak akan pernah tergantikan oleh algoritma secanggih apa pun.
Hakikat kemanusiaan tidak terletak pada kemampuan berpikir logis semata, melainkan pada kesadaran moral, empati, dan kebijaksanaan dalam bertindak. Mesin mampu mengolah data, tetapi hanya manusia yang dapat memberikan makna terhadapnya. Mesin bisa meniru tindakan manusia, namun tidak dapat menciptakan nilai-nilai kemanusiaan. Masa depan bukanlah tentang siapa yang lebih unggul manusia atau mesin melainkan tentang bagaimana keduanya dapat hidup saling berdampingan. Manusia akan selalu dibutuhkan, tidak untuk bersaing dengan mesin, tetapi untuk memastikan bahwa setiap kemajuan teknologi tetap berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan.Top of Form
Selasa, 04 Nopember 2025
Buya Dr. Mohamad Djasuli
(Pengasuh PPM Tebu Falah Telang Kamal)



















