Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
Bangkalan

EKONOMI BERGEJOLAK, JALANAN MEMANAS

811
×

EKONOMI BERGEJOLAK, JALANAN MEMANAS

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh: Mohamad Djasuli (Sang Pengabdi di FEB UTM, Dosen & Praktisi Akuntansi Sektor Publik,)

Bangkalan, Jurnal Hukum Indonesia.–

Example 300x600

“Dari tekanan harga pangan hingga krisis kepercayaan, gejolak ekonomi kini bertransformasi menjadi gelombang protes politik di jalanan.”

Preambul
Dalam sejarah politik Indonesia, dinamika ekonomi kerap menjadi pemicu munculnya gelombang aksi massa. Krisis moneter 1998 bukan hanya meluluhlantakkan fondasi ekonomi, tetapi juga melahirkan perubahan politik yang mendasar. Dua dekade lebih berselang, fenomena serupa kembali menghantui dengan wajah berbeda: gejolak ekonomi yang dirasakan masyarakat, kemudian bertransformasi menjadi protes sosial, dan pada akhirnya menekan stabilitas politik.

Demonstrasi besar-besaran yang mewarnai jalanan kota-kota besar pada 2025 menunjukkan keterhubungan erat antara kebijakan ekonomi, legitimasi politik, dan daya tahan sosial masyarakat. Gelombang protes ini tidak bisa dilihat semata-mata sebagai ekspresi spontan, melainkan bagian dari akumulasi ketidakpuasan publik terhadap kondisi ekonomi dan sosial yang dianggap semakin memberatkan.

Akar Ekonomi dari Gelombang Protes

Ekonomi selalu menjadi variabel paling dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Ketika harga-harga kebutuhan pokok naik, daya beli melemah, dan lapangan kerja sulit diakses, keresahan sosial mudah menyebar.

Secara makro, sebenarnya ekonomi Indonesia mencatat kinerja positif. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,12% year-on-year pada kuartal II 2025, laju tercepat dalam dua tahun terakhir. Namun, pertumbuhan ini tidak serta-merta menetes ke lapisan masyarakat bawah.

Tingkat inflasi yang sempat mencapai rekor rendah justru menimbulkan paradoks. Januari 2025 mencatat deflasi 0,76%, inflasi tahunan hanya 0,76%, terendah dalam 25 tahun terakhir. Februari kembali mengalami deflasi –0,09%. Meskipun pada Maret dan April inflasi kembali meningkat hingga 1,95%, fluktuasi ini menimbulkan ketidakpastian biaya hidup. Banyak masyarakat mengeluhkan harga pangan yang tidak stabil meski inflasi resmi tampak rendah.

Selain itu, nilai tukar rupiah menjadi titik rawan. Per 29 Agustus 2025, rupiah melemah hingga Rp16.945 per dolar AS, level terendah sejak awal bulan. Bahkan pada 1 September 2025, rupiah sempat merosot 0,9% bersamaan dengan IHSG yang anjlok lebih dari 3%, sebelum sedikit pulih setelah Bank Indonesia melakukan intervensi.

Kondisi ini menunjukkan bahwa indikator makro yang “stabil” seringkali tidak mencerminkan kenyataan mikro di lapangan. Bagi masyarakat, yang paling terasa bukanlah angka pertumbuhan, melainkan ongkos transportasi yang naik, harga beras yang berfluktuasi, dan ketidakpastian lapangan kerja.

Politik sebagai Saluran Ekspresi

Demonstrasi bukanlah hal baru dalam sistem demokrasi Indonesia. Sejak reformasi 1998, protes jalanan menjadi mekanisme koreksi sosial yang sah. Namun, gelombang aksi 2025 memiliki dimensi yang lebih kompleks.

Awalnya, protes dipicu isu ekonomi: mahalnya harga kebutuhan pokok dan kebijakan yang dianggap tidak pro-rakyat. Situasi memanas ketika publik mengetahui adanya tunjangan perumahan anggota DPR sebesar Rp50 juta per bulan, hampir sepuluh kali lipat UMR Jakarta. Isu ini menyalakan kemarahan publik karena dianggap menunjukkan ketimpangan elite dan rakyat.

Gelombang protes kemudian berubah menjadi tragedi setelah seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, tewas tertabrak kendaraan Brimob dalam bentrokan di Jakarta pada Agustus 2025. Peristiwa ini memicu kerusuhan luas, pembakaran gedung, dan eskalasi kekerasan di berbagai kota utama.

Kasus ini menunjukkan bahwa protes ekonomi mudah berkembang menjadi protes politik ketika ada simbol ketidakadilan yang memicu solidaritas publik. Rakyat menggunakan jalanan sebagai “ruang publik alternatif” karena merasa kanal formal—parlemen, partai politik, bahkan forum konsultasi publik—tidak cukup mewakili aspirasi mereka.

Dampak Jangka Pendek: Ketidakpastian
Ekonomi dan Politik

Gejolak ekonomi yang diiringi gelombang aksi massa membawa sejumlah dampak langsung:

1. Sentimen pasar negatif. Investor menunda keputusan ekspansi karena khawatir akan stabilitas. IHSG yang anjlok lebih dari 3% pada 1 September 2025 mencerminkan sensitivitas pasar terhadap ketegangan politik.

2. Nilai tukar tertekan. Rupiah yang melemah mendekati Rp17.000/USD menambah beban biaya impor dan produksi. Bank Indonesia terpaksa melakukan intervensi ganda: operasi pasar valas dan pembelian obligasi pemerintah.

3. Gangguan aktivitas ekonomi harian. Demonstrasi besar-besaran di Jakarta, Surabaya, dan Medan menghambat distribusi barang, menurunkan omzet UMKM, dan mengganggu transportasi publik.

4. Polarisasi sosial-politik. Narasi protes kerap bercampur dengan isu identitas dan kepentingan kelompok, memperbesar risiko perpecahan sosial.

Dampak Jangka Panjang: Momentum Perbaikan ataukah Krisis Legitimasi?

Meski menimbulkan ketidakpastian, gelombang protes juga menyimpan potensi positif dalam jangka panjang.

1. Momentum perbaikan. Jika pemerintah membaca protes sebagai kritik konstruktif, krisis bisa menjadi titik balik untuk memperkuat tata kelola. Transparansi anggaran, subsidi tepat sasaran, dan program padat karya bisa lahir dari desakan publik.

2. Krisis legitimasi. Namun, jika respons pemerintah defensif dan represif, maka protes bisa membesar, menurunkan legitimasi, bahkan mengguncang stabilitas politik jangka panjang. Sejarah 1998 mengajarkan bahwa krisis legitimasi jauh lebih berbahaya daripada krisis ekonomi semata.

Jalan Tengah: Responsif, Transparan, dan Inklusif

Menghadapi gejolak ini, pemerintah perlu menempuh strategi jalan tengah:

1. Responsif. Kebijakan cepat dan nyata, misalnya operasi pasar untuk menekan harga pangan, subsidi energi yang tepat sasaran, atau penciptaan lapangan kerja jangka pendek.

2. Transparan. Keterbukaan data inflasi, kurs, dan anggaran menjadi kunci membangun kepercayaan. Publik akan lebih menerima kebijakan sulit jika diberi penjelasan jujur.

3. Inklusif. Melibatkan serikat pekerja, akademisi, dan masyarakat sipil dalam dialog kebijakan agar solusi lebih menyeluruh.

Sementara itu, masyarakat sipil juga dituntut menjaga protes dalam koridor damai. Gerakan yang konstitusional lebih efektif mendorong perubahan tanpa memicu eskalasi kekerasan.

Penutup
Gejolak ekonomi dan aksi massa adalah bagian dari dinamika demokrasi yang wajar. Namun, wajar bukan berarti bisa diabaikan. Justru di sinilah letak ujian bagi pemerintah: apakah mampu mengubah krisis menjadi momentum perbaikan, atau justru terjebak dalam siklus defensif yang memperdalam jurang ketidakpercayaan publik.

Di tengah tekanan global, fluktuasi kurs, dan keresahan domestik, Indonesia membutuhkan kepemimpinan yang peka terhadap suara rakyat, kebijakan ekonomi yang berpihak pada masyarakat luas, serta keberanian membuka ruang dialog. Hanya dengan cara itu, gejolak ekonomi dapat diredam, dan gelombang aksi massa berubah dari ancaman menjadi momentum perbaikan.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *