Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
Berita

Royalti Musik: Mekanisme, Sengketa, dan Penyelesaiannya

939
×

Royalti Musik: Mekanisme, Sengketa, dan Penyelesaiannya

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Penulis: Dr.Bambang S. Irianto

Surabaya,Jurnal Hukum Indonesia.-+

Example 300x600

PENDAHULUAN
Musik adalah bagian penting dari industri kreatif yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Setiap lagu atau komposisi musik merupakan karya cipta yang dilindungi oleh hukum, khususnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Salah satu bentuk perlindungan tersebut adalah pemberian royalti—imbalan yang wajib dibayarkan oleh pihak yang memanfaatkan karya musik untuk tujuan komersial. Meski telah diatur dalam undang-undang dan peraturan pemerintah seperti PP No. 56 Tahun 2021, penerapan royalti musik di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan. Permasalahan utama meliputi: Kurangnya kesadaran hukum pengguna karya. Sengketa antar-musisi mengenai sistem pembayaran royalty, Kurangnya transparansi Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dalam distribusi royalti. Kasus-kasus seperti sengketa Agnez Mo vs Ari Bias (izin penggunaan lagu), polemik AKSI vs VISI terkait direct license vs pengelolaan kolektif, hingga perselisihan Mie Gacoan dengan SELMI menjadi gambaran bahwa royalti musik bukan sekadar urusan bisnis, tetapi juga menyangkut perlindungan hak ekonomi dan moral pencipta. Dalam praktiknya, royalti musik menjadi salah satu sumber pendapatan utama bagi para pencipta lagu, produser, dan pemegang hak terkait. Sistem royalti memungkinkan karya yang digunakan secara berulang kali tetap memberikan manfaat finansial kepada penciptanya, tanpa harus melakukan transaksi setiap kali digunakan. Hal ini tidak hanya melindungi hak ekonomi pencipta, tetapi juga mendorong keberlanjutan industri music, namun, pelaksanaan sistem ini di Indonesia tidak lepas dari berbagai hambatan. Salah satu masalah utama adalah rendahnya tingkat kesadaran hukum di kalangan pengguna karya musik, baik individu maupun pelaku usaha. Banyak pelaku usaha seperti restoran, kafe, pusat perbelanjaan, hingga penyelenggara acara yang masih menganggap royalti sebagai “biaya tambahan” yang tidak perlu dibayarkan, padahal penggunaannya untuk kepentingan komersial jelas memerlukan izin dan pembayaran sesuai hukum. Di sisi lain, mekanisme distribusi royalti juga sering dipersoalkan oleh para musisi. Beberapa pihak mengkritik Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) karena dianggap kurang transparan dalam pelaporan penggunaan lagu dan pembagian royalti. Kondisi ini memunculkan perselisihan internal, seperti yang terlihat pada polemik AKSI (Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia) dan VISI (Vibrasi Suara Indonesia) terkait perbedaan pandangan mengenai model lisensi langsung (direct license) versus lisensi kolektif. Selain itu, penegakan hukum terhadap pelanggaran hak cipta di bidang musik juga masih lemah. Meskipun ada sanksi pidana dan perdata yang diatur dalam UU Hak Cipta, implementasinya di lapangan sering terhambat oleh proses hukum yang panjang dan biaya tinggi. Hal ini menyebabkan sebagian pencipta enggan membawa kasus ke ranah pengadilan dan lebih memilih penyelesaian informal atau mediasi. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa permasalahan royalti musik tidak hanya soal kepatuhan pengguna karya, tetapi juga melibatkan aspek regulasi, manajemen, dan penegakan hukum yang saling terkait. Oleh karena itu, pembahasan mengenai mekanisme, sengketa, dan penyelesaian royalti musik menjadi penting untuk menemukan solusi yang efektif dan adil bagi semua pihak.

 

PERMASALAHAN
Permasalahan Prinsip dalam Royalti Musik di Indonesia
1. Kesadaran hukum pengguna karya yang rendah
a. Banyak pelaku usaha dan penyelenggara acara masih menganggap penggunaan lagu di ruang publik tidak memerlukan izin atau pembayaran royalti.
b. Persepsi keliru bahwa musik di platform digital atau media sosial bebas digunakan tanpa konsekuensi hukum.
2. Ketidakjelasan dan perbedaan interpretasi regulasi
a. UU No. 28/2014 dan PP No. 56/2021 sudah ada, namun implementasinya sering menimbulkan tafsir berbeda.
b. Perdebatan antara model direct license (izin langsung ke pencipta) dan pengelolaan kolektif melalui LMK/LMKN.
3. Transparansi dan Akuntabilitas Lembaga Manajemen Kolektif (LMK)
a. Keluhan musisi terkait pembagian royalti yang dianggap tidak proporsional atau tidak jelas sumber datanya.
b. Sistem pemantauan penggunaan karya belum terintegrasi sepenuhnya secara digital, sehingga data pemutaran sulit diverifikasi.
4. Sengketa Internal di Kalangan Musisi dan LMK
a. Perbedaan pandangan antar-musisi dalam pengelolaan hak cipta, seperti polemik AKSI vs VISI.
b. Persaingan antar-LMK yang mempengaruhi kepercayaan pencipta kepada lembaga pengelola.
5. Keterbatasan Penegakan Hukum
a. Proses hukum sering memakan waktu lama dan biaya tinggi, membuat pencipta enggan menempuh jalur litigasi.
b. Sanksi hukum jarang dijatuhkan secara tegas, sehingga efek jera bagi pelanggar sangat minim.
6. Kurangnya Edukasi Publik dan Literasi Hak Cipta
a. Banyak masyarakat, pelaku usaha, dan bahkan sebagian musisi belum memahami detail hak cipta dan mekanisme royalti.
b. Sosialisasi dari pemerintah, LMK, dan LMKN masih terbatas dan belum menyentuh semua segmen pengguna karya.

PEMBAHASAN
1. Mekanisme Penerapan Royalti Musik di Indonesia
Penerapan royalti musik di Indonesia diatur oleh UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan PP No. 56 Tahun 2021. Prosesnya meliputi:
a. Pencatatan Karya – Pengarang lagu mendaftarkan lagu ke Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
b. Penggunaan Karya – Lagu digunakan untuk tujuan komersial oleh kafe, restoran, radio, TV, konser, atau platform digital.
c. Perizinan (Lisensi) – Pengguna mengajukan izin, baik melalui LMK (collective license) atau langsung ke pencipta (direct license).
d. Penetapan Tarif – LMKN menetapkan tarif nasional sebagai acuan.
e. Pembayaran Royalti – Pengguna membayar royalti sesuai kesepakatan.
f. Distribusi Royalti – LMK membagikan royalti ke pencipta sesuai laporan penggunaan.
Mekanisme ini secara teori sederhana, tetapi pada praktiknya menimbulkan banyak persoalan, terutama pada tahap perizinan, penetapan tarif, dan distribusi.

2. Bentuk dan Contoh Sengketa Royalti Musik
a. Sengketa antara Pencipta dan Pengguna Karya
Kasus Agnez Mo vs Ari Bias (2025)
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat memutuskan Agnez Mo harus membayar denda Rp 1,5 miliar karena membawakan lagu karya Ari Bias tanpa izin dalam sebuah konser.
Analisis:
Kasus ini menjadi preseden bahwa izin penggunaan lagu wajib diperoleh sebelum pertunjukan, terlepas dari popularitas atau status artis.
b. Sengketa antar-Musisi dan LMK
Polemik AKSI vs VISI (2024–2025)
AKSI (Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia) dipimpin Ahmad Dhani & Piyu mendukung model direct license, di mana pengarang lagu bisa memberi izin langsung ke pengguna. VISI (Vibrasi Suara Indonesia) diinisiasi Ariel & Armand Gaul mendukung pengelolaan kolektif penuh melalui LMK/LMKN.
Analisis:
Perbedaan model lisensi ini menimbulkan kebingungan di kalangan pelaku usaha dan pengguna karya, serta memicu permohonan uji materi UU Hak Cipta ke Mahkamah Konstitusi.
c. Sengketa antara Pelaku Usaha dan LMK
Kasus Mie Gacoan vs SELMI (2024)
PT Mitra Bali Sukses (franchise Mie Gacoan) berselisih dengan SELMI terkait tunggakan royalti sebesar Rp 2,2 miliar. Kasus ini akhirnya diselesaikan lewat mediasi Menteri Hukum dan HAM, di mana Mie Gacoan setuju membayar royalti melalui LMKN dan kembali memutar musik.
Analisis:
Kasus ini menunjukkan bahwa mediasi bisa menjadi solusi efektif untuk menghindari proses hukum panjang.

3. Permasalahan Prinsip yang Memicu Sengketa
a. Kesadaran hukum rendah;
Banyak pengguna karya tidak tahu atau pura-pura tidak tahu kewajiban membayar royalti.
b. Transparansi distribusi minim;
Musisi sering tidak mengetahui dari mana royalti mereka berasal dan berapa jumlah sebenarnya.
c. Perbedaan model lisensi;
Menyebabkan kebingungan dalam perizinan dan tarif.
d. Lemahnya penegakan hukum;
Sanksi jarang diterapkan secara konsisten.

 

4. Upaya Penyelesaian Sengketa
a. Jalur Non Litigasi (Alternatif Penyelesaian Sengketa)
1) Mediasi oleh Kemenkumham atau LMKN, seperti kasus Mie Gacoan.
2) Negosiasi langsung antara pengarang lagu dan pengguna lagu untuk menentukan tarif.
b. Jalur Litigasi
1) Pengadilan Niaga untuk gugatan hak cipta, seperti kasus Agnez Mo.
2) Mahkamah Konstitusi untuk uji materi norma hukum, seperti permohonan VISI terkait UU Hak Cipta.
c. Rekomendasi dan Perbaikan
1) Digitalisasi sistem pencatatan dan pemantauan pemutaran lagu.
2) Publikasi laporan distribusi royalti secara terbuka oleh LMK/LMKN.
3) Edukasi masif kepada pelaku usaha dan masyarakat.
4) Penegakan hukum yang konsisten untuk menciptakan efek jera.

PENUTUP
1. Simpulan
a. Royalti musik merupakan instrumen penting untuk menjamin penghargaan dan kesejahteraan para pencipta, pemegang hak cipta, dan pelaku industri musik. Meskipun Indonesia telah memiliki landasan hukum yang cukup kuat melalui UU No. 28 Tahun 2014 dan PP No. 56 Tahun 2021, implementasinya masih menghadapi berbagai kendala. Permasalahan utama meliputi rendahnya kesadaran hukum pengguna karya, ketidakjelasan interpretasi regulasi, kurangnya transparansi Lembaga Manajemen Kolektif, sengketa internal di kalangan musisi, lemahnya penegakan hukum, serta minimnya literasi hak cipta di masyarakat.
b. Penyelesaian sengketa royalti memerlukan pendekatan yang komprehensif: penegakan hukum yang konsisten, peningkatan transparansi pengelolaan royalti berbasis teknologi digital, serta edukasi publik yang masif dan berkelanjutan. Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan tercipta ekosistem musik yang adil, transparan, dan berkelanjutan, sehingga hak-hak para pencipta terlindungi dan industri musik Indonesia dapat tumbuh secara sehat.

2. Saran
a. Peningkatan Literasi Hak Cipta
Pemerintah, Lembaga Manajemen Kolektif (LMK), dan komunitas musik perlu mengadakan program edukasi rutin bagi musisi, pelaku usaha, dan masyarakat umum tentang pentingnya hak cipta dan kewajiban pembayaran royalti.
b. Transparansi dan Akuntabilitas LMK
LMK harus mengembangkan sistem pelaporan berbasis digital yang dapat diakses oleh anggota secara real-time, sehingga distribusi royalti lebih jelas, tepat waktu, dan minim sengketa.

 

c. Penguatan Penegakan Hukum
Aparat penegak hukum dan pengawas industri perlu memperkuat koordinasi untuk menindak pelanggaran hak cipta, termasuk memberikan sanksi tegas kepada pihak yang mengabaikan kewajiban royalti.
d. Pemanfaatan Teknologi Digital
Penggunaan teknologi seperti blockchain atau sistem pelacakan musik otomatis dapat meningkatkan akurasi data pemutaran dan distribusi royalti, sekaligus meminimalkan potensi manipulasi.
e. Peningkatan Kerja Sama Antar Pemangku Kepentingan
Pemerintah, LMK, asosiasi industri musik, dan platform digital harus membentuk forum komunikasi tetap untuk membahas perkembangan regulasi, penyelesaian sengketa, dan inovasi pengelolaan royalti.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *