Bangkalan,Jurnal Hukum Indonesia.–
Di antara semaraknya para penggemar mancing mania, terdapat satu sosok yang akrab dikenal para nelayan dan pemancing di wilayah Kelurahan Bancaran, Kota Bangkalan. Joko yang kerap disapa. Dengan perahu kesayangannya bertuliskan Dolphin, ia bukan sekadar nelayan biasa, tapi juga seorang pemandu andalan para mancing mania dari berbagai daerah.
Joko tergabung dalam Paguyuban Al Ikhlas, komunitas penggemar mancing yang beranggotakan sekitar 40 orang. Paguyuban ini tumbuh berdampingan dengan kelompok nelayan lokal bernama Al Amin yang dikomandoi oleh H. Abdul Gafur.
Setiap akhir pekan atau hari libur, Joko kerap membawa tamunya ke berbagai spot mancing unggulan di perairan Bangkalan, mulai dari Patok Besi, Pelampung Merah dan Biru, hingga kepulauan Karang Jamuang. Tarifnya juga bervariasi, tergantung jarak tempuh yang dilalui.
“Banyak tamu saya dari luar kota, seperti Surabaya dan Gresik. Untuk trip standar biasanya Rp 300 ribu, tapi kalau sampai Karang Jamuang bisa Rp 500 ribu per hari,” ujar Joko saat mengemudi Dolphin perahunya, Minggu (13/7).
Karang Jamuang, jelas Joko, adalah lokasi mancing favorit yang menantang. Kawasan ini dikenal sebagai titik pantau lalu lintas kapal menuju Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Dikelilingi terumbu karang, tempat ini menjadi habitat alami ikan-ikan besar incaran para pemancing yang datang.
Namun, di balik geliat aktivitas mancing yang menggairahkan, Joko menyimpan kegelisahan mendalam. Ia dan rekan-rekannya sesama nelayan merasa terusik dengan kehadiran kapal-kapal dari luar daerah, terutama dari Probolinggo dan sekiy, yang menggunakan alat tangkap ilegal seperti pukat harimau (trawl).
“Kalau itu dibiarkan, habis terumbu karang kita. Ikan-ikan besar juga hilang. Tempat mancing favorit bisa lenyap,” keluh Joko.
Ia berharap pemerintah daerah segera turun tangan dan bertindak tegas terhadap praktik menangkap ikan dengan cara merusak tersebut. Selain itu, Joko juga mengusulkan agar paguyuban nelayan dan pemancing seperti Al Amin dan Al Ikhlas mendapat dukungan fasilitas keselamatan seperti pelampung, jaket laut, alat
komunikasi, serta kelengkapan nelayan lainnya.
“Bukan cuma untuk kami para nelayan, tapi juga demi keselamatan tamu yang kami bawa. Kami ingin laut tetap aman dan bisa terus dimanfaatkan secara bijak,” katanya.
Kisah Joko mencerminkan suara nelayan lokal yang ingin hidup berdampingan dengan laut secara berkelanjutan. Ia tak sekadar mengais rezeki dari laut, tapi juga berkomitmen menjaganya. Semangat Joko menjadi pengingat bahwa laut bukan hanya sumber penghidupan, tapi juga warisan alam yang wajib dijaga bersama.